HUTAN HUJAN TROPIS DATARAN TINGGI

Rabu, 19 Oktober 2011
Pengertian Hutan Hujan Tropis

Hutan adalah suatu masyarakat tumbuhan-tumbuhan dan hewan yang hidup dalam lapisan dan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan dinamis. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Hutan hujan tropis adalah hutan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan yang sangat tinggi, atau hutan dengan pohon-pohon yang tinggi, iklim yang lembab, dan curah hujan yang tinggi. Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 100 LU dan 100 LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000 – 4.000 mm per tahun dengan temperatur rata-rata 250C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun dan rata-rata kelembaban udara sekitar 80%. Hutan hujan tropis adalah klimaks utama  hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum tajuk, yaitu stratum A, B dan C.
Menurut asal-usul pembentukan hutan hujan tropis, diketahui bahwa hujan hujan tropis merupakan komunitas hasil interaksi antara iklim regional dan biota regional. Vegetasi hutan hujan tropis tidak akan pernah mengalami gugur daun seperti hutan yang ada di daerah-daerah subtropis, seperti sebagian besar Eropa, Asia Timur, dan daerah Asia Barat. Sehingga dedaunan yang hidup didaerah hutan hujan tropis akan selalu berwarna hijau sepanjang tahun (evergreen). Keanekaragaman jenis yang hidup dihutan hujan tropis ini sangat tinggi. Fauna hutan hujan tropis menempati semua lapisan tajuk. Kebanyakan hewan yang hidup merupakan hewan nokturnal (hewan yang aktif pada malam hari) dan arboreal (hewan yang hidup dipohon).

Ciri-Ciri Hutan Hujan Tropis

Pada umumnya wilayah hutan hujan tropis dicirikan oleh adanya 2 musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu dan kelembapan udara yang tinggi, demikian juga dengan curah hujan, sedangkan hari hujan merata sepanjang tahun.
Hutan hujan tropika terbentuk di wilayah-wilayah beriklim tropis, dengan curah hujan tahunan minimum berkisar antara 1.750 mm pertahun dan 2.000 milimeter pertahun. Sedangkan rata-rata temperatur bulanan berada di atas 18 °C (64 °F) di sepanjang tahun. Hutan basah ini tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian sekitar 1.200 m dpl., di atas tanah-tanah yang subur atau relatif subur, kering (tidak tergenang air dalam waktu lama), dan tidak memiliki musim kemarau yang nyata (jumlah bulan kering < 2).
Hutan hujan tropika merupakan vegetasi yang paling kaya, baik dalam arti jumlah jenis makhluk hidup yang membentuknya, maupun dalam tingginya nilai sumberdaya lahan (tanah, air, cahaya matahari) yang dimilikinya. Hutan dataran rendah ini didominasi oleh pepohonan besar yang membentuk tajuk berlapis-lapis (layering), sekurang-kurangnya tinggi tajuk teratas rata-rata adalah 45 m (paling tinggi dibandingkan rata-rata hutan lainnya), rapat, dan hijau sepanjang tahun. Ada tiga lapisan tajuk atas di hutan ini, yaitu :
  1. Lapisan pohon-pohon yang lebih tinggi, muncul di sana-sini dan menonjol di atas atap tajuk (kanopi hutan) sehingga dikenal sebagai “sembulan” (emergent). Sembulan ini bisa sendiri-sendiri atau kadang-kadang menggerombol, namun tidak banyak. Pohon-pohon tertinggi ini bisa memiliki batang bebas cabang lebih dari 30 m, dan dengan lingkar batang hingga 4,5 m.
  2. Lapisan kanopi hutan rata-rata, yang tingginya antara 24–36 m.
  3. Lapisan tajuk bawah, yang tidak selalu menyambung. Lapisan ini tersusun oleh pohon-pohon muda, pohon-pohon yang tertekan pertumbuhannya, atau jenis-jenis pohon yang tahan naungan.
Kanopi hutan banyak mendukung kehidupan lainnya, semisal berbagai jenis epifit (termasuk anggrek), bromeliad, lumut, serta lumut kerak, yang hidup melekat di cabang dan rerantingan. Tajuk atas ini demikian padat dan rapat, membawa konsekuensi bagi kehidupan di lapis bawahnya. Tetumbuhan di lapis bawah umumnya terbatas keberadaannya oleh sebab kurangnya cahaya matahari yang bisa mencapai lantai hutan, sehingga orang dan hewan cukup leluasa berjalan di dasar hutan.
Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan. Itu semua merupakan ciri umum bagi ekosistem hutan hujan tropis. Selain ciri umum yang telah dikemukakan di atas, masih ada ciri yang dimiliki ekosistem hutan hujan tropis, yaitu kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara. Jadi, faktor pembatas di hutan hujan tropis adalah cahaya, dan itu pun hanya berlaku bagi tumbuh-tumbuhan yang terletak di lapisan bawah. Dengan demikian, herba dan semak yang ada dalam hutan adalah spesies-spesies yang telah beradaptasi secara baik untuk tumbuh di bawah naungan pohon.

Persebaran Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis dijumpai di daerah dengan curah hujan tinggi. Di hutan ini ada banyak pohon besar dan berbagai jenis tanaman lain. Hutan ini ada di daerah tropis yang panas dan lembab di Queensland, di daerah pantai Australia bagian timur dan di Tasmania yang beriklim sedang, basah, dan sejuk. Hutan jenis ini ada hubungannya dengan hutan yang ada di Indonesia dan di Asia Tenggara. Hal ini karena dulu pada zaman es permukaan laut yang lebih rendah telah menghubungkan Australia dengan Irian Jaya sehingga hutan-hutan ini meluas.
Pada hutan hujan tropis matahari bersinar sangat kuat dan dengan kuantitas waktu yang sama setiap hari sepanjang tahun, menjadikan iklim hangat dan stabil. Negara-negara dengan jumlah hutan hujan terbesar adalah: Brazil, Kongo, Republik Demokratik, Peru, Indonesia, Kolombia, Papua Nugini, Venezuela, Bolivia, Meksiko semenanjung Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika, Madagaskar, Australia Bagian Utara, Malaysia.dan Suriname.

Tipe Hutan Hujan Tropis Menurut Ketinggian Tempat

Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga zon atau wilayah sebagai berikut :
  1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 0 – 1.000 m dpl.
  2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1.000 – 3.300 mdpl
  3. Zona 3 dinamakan hutan hujan dataran tinggi atau hutan hujan atas karena terletak pada ketinggian tempat 3.300 – 4.100 mdpl.

Dampak Kerusakan Hutan Hujan Tropis

Menurut data State of the World’s Forests 2007’ yang dikeluarkan the UN Food & Agriculture Organization’s (FAO), angka deforestasi Indonesia pada tahun 2000-2005 1,8 juta hektar/tahun. Sedangkan Brazil dalam kurun waktu yang sama 3,1 juta hektar/tahun dengan gelar kawasan deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil, maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun, dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0.6%. Tingginya angka deforestasi ini, juga terlihat di Jambi, berdasarkan analisis peta citra satelit yang dilakukan KKI Warsi dan Birdlife Indonesia, dalam kurun 10 tahun Jambi kehilangan 1 juta hektar hutannya. penyebabnya ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk mengegakkan aturan untuk menghentikan aksi-aksi destruktive logging. Padahal segala dampak nyata akibat kerusakan hutan telah dirasakan, banjir, kekeringan, erosi, longsor, sedimentasi dan sebagainya
Dampak lainnya yang juga kini mengancam manusia akibat laju kerusakan hutan adalah berkembangnya berbagai virus yang mematikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Hadi S Alikodra, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor. Menurutnya perkembangan virus flu burung yang telah merenggut puluhan jiwa Orang Indonesia sejak dua tahun belakangan ini tidak lepas dari deforestasi yang tinggi di negeri ini. Jumlah mikroba yang hidup di alam seimbang dengan ekosistemnya sehingga tidak sampai menyerang manusia. Tetapi, tanpa sadar, manusialah yang merusak ekologi mikroba tersebut. Hasilnya keseimbangan hidup mikroba pun berubah. Dan perubahan itu menyebabkan mikroba mengalami transformasi dalam kehidupannya. Mikroba transformatif itulah yang akhirnya menyerang manusia.
Flu burung merupakan penyakit yang menular lewat pernafasan. Berdasarkan penelitiannya di Cina, penyebab kedua penyakit tersebut adalah polusi udara dan penebangan hutan yang sewenang-wenang. Polusi udara di Cina saat ini sudah mencapai tahap yang sangat berbahaya. Kondisi tersebut ditambah lagi dengan minimnya suplai oksigen (O2) yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Seperti diketahui, suplai oksigen terbesar berasal dari hutan. Jika hutan itu rusak, maka suplai oksigen pun berkurang. Dampaknya luar biasa : mikroba akan tumbuh subur dan perkembangbiakannya tak terkendali. Sebab, oksigen – yang bila terkena sinar ultraviolet dari matahari berubah menjadi ozon (O3) dan O nascend – adalah pembunuh mikroba dan virus yang amat efektif.
Bila oksigen itu berkurang, pembunuh mikroba dan virus pun berkurang. Dampaknya, mikroba dan virus akan makin berkembang, hingga muncullah varian baru virus flu burung HxNy, dengan yang kini menyerang manusia merupakan farian H5N1. So, apakah kita akan birakan hutan hancur dan virus, bakteri dan mikroba lain yang selama ini hidup tenang dihabitatnya gentayangan dengan beragam varian dan siap menyerang manusia.
 

Hutan Hujan Tropis Dataran Tinggi

Hutan hujan tropis dataran tinggi (hutan hujan pegunungan atas) merupakan tipe ekosistem atau formasi hutan yang merupakan areal dengan ketinggian > 3.300 mdpl. Hutan ini menempati wilayah pedalaman dengan keadaan tanah yang kering, jenis tanah yang bermacam-macam dan iklim yang selalu basah. Flora dan fauna yang ditemukan di sini berbeda dengan tumbuh-turnbuhan di tipe hutan lainnya, karena telah mengadopsi strategi dalam menanggulangi kondisi lingkungan yang keras. Hutan pegunungan memiliki tumbuhan yang relatif pendek dan kerdil (biasanya kurang dari 10 meter) serta ditutupi lumut dan tumbuhan sebangsa lumut lainnya.
            Tipe ekosistem hutan hujan tropis dataran tinggi pada umumnya berupa kelompok hutan yang terpisah-pisah oleh padang rumput dan belukar.  Pada ekosistem ini kerapatan tumbuhan sudah jarang, pohon yang besar dan tinggi sudah mulai jarang dijumpai, begitu juga dengan tumbuhan liana berkayu dan tanaman ephyphit. Jenis tanaman yang sering dijumpai adalah liana tidak berkayu (liana pada batang), tumbuhan berdaun sempit (berdaun jarum), lumut, semak dan herba. Jenis-jenis tumbuhan pada hutan hujan tropis dataran tinggi sangat dipengaruhi oleh curah hujan, suhu udara dan intensitas cahaya. Selain itu kesuburan tanah (bahan organik) yang terkandung pada tanah juga sangat menentukan. Pada hutan hujan dataran tinggi tanah tergolong miskin akan unsur hara. Sehingga hanya jenis-jenis tertentu saya yang mampu hidup dan bertahan dengan kondisi lingkungan yang tergolong ekstrim. Hal ini karena hutan hujan tropis memiliki laju kecepatan daur ulang yang rendah sehingga memaksa komponen vegetasi beradaptasi dengan keadaan lingkungan yang miskin unsur hara. Sangat berbeda dengan hutan hujan tengah dan hutan hujan dataran tinggi yang memiliki  kecepatan daur ulang sangat tinggi, sehingga semua komponen vegetasi hutan tidak mungkin kekurangan unsur hara.

Flora Hutan Hujan Tropis Dataran Tinggi

Pada ekosistem hutan hujan dataran tinggi banyak mengandung spesies pohon Conifer (pohon berdaun jarum) genus Dacrydium, Libecedrus, Phyllocladus, dan Podocarpus. Di samping itu, juga ditemui spesies pohon Eugenia spp. dan Calophyllum, sedangkan di sebagian daerah Indonesia Barat dijumpai juga kelompok­ kelompok tegakan Leptospermum, Tristania, dan Phyllocladus yang tumbuh dalam ekosistem hutan hujan atas pada daerah yang memiliki ketinggian tempat lebih dari 3.300 m. Tumbuhan utama penyusun hutan hujan tropis dataran tinggi adalah:

a.      Terna
Hutan hujan tropis dataran tinggi memiliki kanopi pohon yang jarang (tidak rapat), dengan penyinaran matarahi tinggi. Pada bagian hutan yang kanopinya tidak begitu rapat, memungkinkan sinar matahari dapat tembus hingga ke lantai hutan.  Banyak tumbuh dan berkembang vegetasi tanah yang berwarna hijau yang tidak bergantung pada bantuan dari luar. Tumbuhan yang demikian hidup dalam iklim yang lembab dan cenderung bersifat terna seperti paku-pakuan dan paku lumut (Selaginella spp.). Terna dapat membentuk lapisan tersendiri, yaitu lapisan  semak-semak,  terdiri dari tumbuhan berkayu agak tinggi, namun relatif jarang.
Lapisan semak-semak sering mencakup beberapa terna yang tingginya dapat melebihi 5 meter. Perkembangan terna dalam wilayah hutan hujan tropis dataran tinggi sangat baik. Hal ini disebabkan pencahayaan matahari untuk membantu proses fotosintesisnya tercukupi dengan baik. Persebaran terna yang baik terdapat pada wilayah terbuka dengan air yang cukup melimpah atau pada tebing-tebing terjal, dimana sinar matahari leluasa mencapai lantai hutan.

b.      Tumbuhan Pemanjat 

Pada hutan hujan tropis tumbuhan ini bergantung dan menunjang pada tumbuhan utama dan memberikan hiasan utama pada hutan hujan tropis. Tumbuhan pemanjat ini lebih dikenal dengan sebutan liana. Tumbuhan ini dapat tumbuh baik, besar dan banyak, sehingga mampu memberikan salah satu sifat yang paling mengesankan dari hutan hujan tropis. Namun, pada hutan hujan tropis dataran tinggi liana berkayu sangat jarang dijumpai, namun pada beberapa jenis liana yang menyukai habitat miskin unsur hara seperti Nepenthes spp akan hidup subur.

c.       Pohon-Pohon Hutan 

Pada hutan hujan tropis terdapat tiga tipe kanopi, masing-masing tingkatan ditandai dengan jenis pohon yang berbeda. Tingkatan A merupakan tingakatan tumbuhan yang menjulang tinggi, dengan ketinggian lebih dari 30 meter. Pohon-pohonnya dicirikan dengan jarak antar pohon yang agak berjauhan dan jarang merupakan suatu lapisan kanopi yang bersambung. Tingkatan B merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 15-30 meter. Kanopi pada tingkatan ini merupakan tajuk-tajuk pohon yang bersifat kontinu (bersambung) dan membentuk sebuah massa yang dapat disebut sebagai sebuah atap (kanopi). Sedangkan tingkatan C merupakan tumbuhan dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing. Tingkatan-tingkatan kanopi hutan hujan tropis sebenarnya sukar sekali dtentukan secara pasti. Hal ini disebabkan oleh ketinggian pohon yang tidak seragam seperti telah disebutkan dalam pembagian tingkatan di atas. Pengamatan tingkatan kanopi di atas hanyalah bersifat causal saja. Hutan hujan tropis dataran tinggi tergolong kedalam tipe kanopi golongan C dengan ketinggian antara 5-15 meter. Tingkatan ini dicirikan dengan bentuk pohon yang kecil dan langsing, serta memiliki tajuk yang sempit meruncing.







Rabu, 12 Oktober 2011
KONSERVASI HARIMAU SUMATERA 
 (Panthera tigris-sumatrae)
1.                
1.                  Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam, peninggalan sejarah, seni dan budaya, yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi memperediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal keanekaragaman hayati, akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keanekaragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh (BAPPENAS, 1993).
Harimau  Sumatera (Phanthera Tigris Sumatrae) merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang hidup di pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida  dalam ekosistem hutan sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh pemerintah dan dikategorikan sebagai satwa yang mendekati kepunahan. CITES (konvensi tentang perdagangan satwa dan tumbuhan terancam punah) telah melarang perburuan dan perdagangan satwa ini.  Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh IUCN (Cat Specialist Group2002). Pada tahun 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang),sementara sekitar 100 ekor lainnya berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (Gambar 2; Lokakarya Harimau dan Gajah 2007).
Upaya untuk menyelamatkan Harimau Sumatera telah sejak lama dan secara terus menerus diillakukan oleh pemerintah Indonesia dan berbagai pihak yang peduli terhadap pelestarian satwa ini baik dari dalam ataupun luar negeri. Namun karena upaya pelestarian satwa ini sering kurang terintegrasi dengan derap pembangunan ekonomi di pulau Sumatera. sejauh ini hasilnya masih kurang menggembirakan. Saat ini populasi Harimau Sumatera dialam diperkirakan hanya sekitar 300 individu yang tersebar dibeberapa kawasan hutan yang terfragmentasi karena berbagai sebab terutama penebangan dan konvensi hutan.


2.         Pelestarian Satwa Yang Dilindungi dan Terancam Punah di Indonesia
2.1.      Penentuan Kriteria Kawasan Pelestarian
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006, taman nasional dikelola secara zonasi. Adapun zona yang terdapat di dalam taman nasional adalah: zona inti; zona pemanfaatan; zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan menjadi suatu zona setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan:
1)      Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati.
2)      Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3)      Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4)      Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
5)      Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6)      Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
7)      Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
          Fungsi dari kawasan pelestarian alam adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah secara zonasi dilakukan penilaian potensi untuk dasar penentuan zonasi kawasan dengan mengacu pada aspek ekologis, teknis, sosial ekonomi, pengambangan wilayah dan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian diperlukan kegiatan penilaian potensi kawasan yang mencakup potensi potensi di bawah ini:
1)      Potensi keanekaragaman hayati.
2)      Potensi pemanfaatan wisata.
3)      Potensi pemanfaatan tradisional.
4)      Potensi terjadinya konflik kepentingan.
5)      Potensi pengembangan ilmu pengetahuan.
6)      Potensi masalah dan sumbernya.

2.2.     Konservasi Harimau Sumatera
Konservasi harimau (Panthera tigris) memberikan manfaat kepada komunitas alam secara tidak langsung di luar jenis mereka (Panwar, 1987). Di beberapa negara di Asia, harimau digunakan sebagai spesies penanda bagi konservasi keanekaragaman hayati (Rabinowitz, 1991). Tetapi, sudah lebih dari satu abad semenjak harimau digolongkan dalam satwa yang terancam punah (IUCN, 2004) dan populasi harimau terus menurun di semua jenis. Penurunan ini disebabkan adanya perdagangan bagian tubuh harimau untuk pengobatan tradisional, harimau banyak dibunuh karena reputasinya sebagai pembunuh manusia (Weber and Rabinoviz, 1996), melegalkan pembasmian ‘harimau bermasalah’ diikuti oleh adanya konflik harimau dan manusia (Tilson et al. 1994; Seidensticker et al, 1999), pengurangan jumlah spesies mangsa oleh pemburu liar (Seidensticker, 1986; Karanth and Stith, 1999), dan peningkatan kerusakan habitat alaminya (Wikramanayake et al, 1998; Nowell & Jackson, 1996; Weber & Rabinowitz, 1996).
Indonesia pernah memiliki tiga dari delapan subspesies harimau yang ada di dunia, namun dua diantaranya, yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (P. t. balica) telah dinyatakan punah, masing-masing pada tahun 1940- an dan 1980-an (Seidensticker dkk. 1999). Saat ini hanya subspesies harimau sumatera (P. t. sumatrae) yang tersisa dan hidup pada habitat yang terfragmentasi dan terisolasi satu dengan lainnya.Harimau sumatera hanya terdapat di Sumatera danmerupakan sub spesies dengan ukuran tubuh rata-rata terkecil di antara sub spesies harimau yang ada saat ini (Kitchener 1999). Harimau sumatera jantan memiliki rata-rata panjang dari kepala hingga ekor 240 cm dan berat 120 kg. Sedangkan betina memiliki rata-rata panjang  dari kepala hingga ekor 220 cm dan berat 90 kg. Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh IUCN (Cat Specialist Group, 2002).
Pada tahun 1978, populasi harimau Sumatera diperkirakan tinggal 1000 ekor, berdasar respons kuesioner (Borner, 1978). Tahun 1985, pada 26 area yang dilindungi, ditemukan adanya harimau, dan total populasi pada lokasi-lokasi tersebut kurang lebih 800 harimau (Santiapillai and Ramono, 1987). Pada tahun 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), sementara sekitar 100 ekor lainnya berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (Lokakarya Harimau dan Gajah 2007). Oleh karena itu, keberadaan Harimau sumatera wajib dilestarikan dalam Dokumen Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007 - 2017. Pada tahun 1992 juga dilakukan analisis kelangsungan hidup (viability) populasi dan habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) harimau Sumatera. Dimana hasilnya memperkirakan kurang lebih 400 – 500 harimau tinggal di taman nasional dan area lain yang tidak dilindungi (Tilson et al, 1994). Santiapilla and Ramono (1987) memperkirakan kepadatan harimau Sumatra adalah 1 ekor per 100 km2 di daerah pegunungan dan 1-3 ekor per km2 di dataran rendah.
Perkiraan terkini baru dilakukan pada tingkat kawasan yang berlaku untuk kawasan itu saja. Jumlah minimal berdasarkan estimasi yang dilakukan olehberbagai lembaga adalah sekitar 250 individu dewasa, di 8 dari setidaknya 18 kawasan yang disinyalir memiliki harimau sumatera, sedangkan terhadap 10 kawasan lain sisanya belum dilakukan estimasi populasi. Walaupun estimasi tersebut dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja yang umumnya sama, namun pendekatan yang digunakan berbeda-beda. Oleh karena itu perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Nilai tersebut juga tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan estimasi yang dilakukan pada tahun 1992 tersebut di atas, karena pendekatan yang digunakan sangat berbeda.

2.3.      Ancaman Pelestarian Harimau
Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan harimau, sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya harimau dari habitatnya.
Bentuk lain aktivitas manusia yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa kharismatik ini dari habitat alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal harimau sumatera dan produk turunannya. Kemiskinan  masyarakat di sekitar hutan dan tingginya permintaankomersial dari produk-produk ilegal harimau mulai dari kulit, tulang, taring, serta  daging mendorong meningkatnya perburuan satwa tersebut.
Penelitian terbaru telah menemukan melimpahnya jumlah harimau dan predator yang serupa berkorelasi positif dengan dengan kepadatan varietas binatang berkuku tunggal, utamanya rusa (Seidensticker, 1986; Sunquist et al, 1999). Di Sumatera, harimau biasanya memangsa banyak jenis rusa (Cervus unicolor) dan jenis babi (Sus scrofa) (Seidensticker, 1986). Beberapa hasil penelitian telah melaporkan penurunan populasi mamalia bertubuh besar sebagai hasil dari tekanan perburuan skala kecil (Peres, 1990; FitzGibbon et al, 1995; Peres, 2000). Biomasa satwa liar biasanya terkumpul di area di mana terdapat sejarah panjang perburuan, pemukiman manusia, dan kegiatan bercocok tanam (Jorgensen, 2000). Kinnaird et al, (2003) menginterpretasikan kecenderungan dari tiga jenis mamalia terancam punah, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (elephas maximus), dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang menghuni daerah tengah hutan (interior) yang merupakan penghindaran dari aktivitas manusia yang biasanya terdapat di tepian hutan.
Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati di pulau ini, terutama terhadap jenis-jenis mamalia besar yang memiliki daerah jelajah yang luas  seperti harimau. Hilangnya hutan yang cukup luas dan cepat pada dasawarsa terakhir menyebabkan luas habitat harimau sumatera berkurang dan terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu dengan yang lain.
Kepedulian tentang hilangnya jenis dan penurunan biodiversitas telah menghasilkan banyaknya upaya untuk melestarikan hutan, dalam hubungannya dengan pencegahan kepunahan jenis lokal maupun terhadap kekayaan jenis atau komposisi jenis secara umum. Dampak pengelolaan hutan terhadap biodiversitas adalah penurunan populasi, kemungkinan kepunahan jenis, bahkan berkaitan dengan penurunan keragaman genetik yang diakibatkan oleh perubahan demographik hutan, fragmentasi hutan dan penurunan kualitas habitat. Oleh karena itu hasil-hasil penelitian akan memperkuat upaya pelestarian jenis maupun perluasan kawasan konservasi.
Kerusakan habitat, fragmentasi dapat menurunkan populasi dan nilai lanskap dalam pelestarian populasi satwa liar. Banyak jenis mamalia di alam telah mendekati “minimum viable population size” dan 20-50% jenis diprediksi akan punah pada tahun 2100 (Silva and Downing, 1994). Berdasarkan kekhawatiran tersebut, maka penelitian populasi dan distribusi satwa mamalia, khususnya mamalia besar adalah sangat penting. Dalam hal ini minimum viable population akan semakin kecil untuk jenis satwa dengan berat badan besar.
Beberapa jenis satwa besar tidak diragukan akan dapat beradaptasi dengan baik dalam populasi rendah, seperti harimau dengan nilai minimum variabel populasi 0,02, di samping itu populasi karnivora besar lebih rendah dari populasi herbivora (Silva and Downing, 1994). Dalam hal ini Panthera tigris telah digunakan sebagai flagship species dalam upaya melindungi kawasan dan biodiversitas di beberapa negara Asia (Karanth, 1995).

3.       Managamen Dalam Strategi Konservasi
Sebagai upaya menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan, untuk pertama kalinya pada tahun 1994 pemerintah bersama para pihak terkait menerbitkan dokumen rencana aksi konservasi harimau sumatera. Rencana aksi tersebut merekomendasikan:
a)      Strategi pengembangan dan pengelolaan konservasi populasi harimau sumatera.
b)       Pengamanan dan perlindungan populasi harimau sumatera yang masih ada di habitatnya.
c)      Mengembangkan penangkaran harimau sumatera untuk mendukung pemulihan populasi di alam.
d)     Membangun jaringan kerja untuk kelestarian harimau sumatera di Indonesia. Sebagai implementasi dari rencana aksi tersebut, pemerintah telah meningkatkan pengamanan dan pengelolaan harimau sumatera di beberapa kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Taman Nasional Sembilang (TNS) dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

3.1.     Populasi dan Distribusi in-situ
Hasil analisa terkini mengenai status harimau secara global menetapkan 12 bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape) di Sumatera dan hanya dua di antaranya yang dikategorikan sebagai prioritas global, yaitu bentang alam Kerinci Seblat dan Bukit Tigapuluh, serta dua bentang alam prioritas regional, yaitu Bukit Balai Rejang Selatan dan Kuala Kampar – Kerumutan(Sanderson dkk. 2006). Jika dipadukan dengan beberapa hasil kajian terkini, saat ini populasi harimau sumatera terdapat setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lain yang berstatus sebagai hutan lindung dan hutan produksi, yang terpisah satu sama lain. Berdasarkan data perkiraan antar waktu, sebagaimana digambarkan sebelumnya, populasi harimau sumatera cenderung menurun dari tahun ketahun. Apabila tidak dilakukan intervensi pengelolaan yang tepat, satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia ini diyakini akan punah dalam waktu yang tidak terlalu lama.
            Seperti halnya sub spesies harimau lainnya, harimau sumatera adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas, sepanjang tersedia cukup mangsa dan sumber air (Schaller 1967; Sunquist 1981; Seidensticker dkk. 1999), serta terhindar dari berbagai ancaman potensial. Di Sumatera, harimau sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, dengan ketinggian antara 0 – 3.000 meter di atas permukaan laut dan menghuni berbagai jenis habitat, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka.

3.2.        Populasi dan distribusi Ex situ
Untuk konservasi secara ex-situ pemerintah hanya mengijinkan pemeliharaan dan penangkaran (captive breeding) yang dilakukan oleh lembaga konservasi ex-situ, seperti kebun-kebun binatang dan taman-taman safari baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sampai dengan tahun 2007 jumlah harimau sumatera yang terdapat di lembaga konservasi ex-situ di dalam negeri sebanyak 127 ekor, sedangkan harimau sumatera yang dipinjamkan atau diberikan dengan skema tukar menukar satwa dengan beberapa lembaga konservasi ex-situ di luar negeri terdapat sebanyak 244 ekor. Populasi harimau sumatera ex-situ sangat berguna sebagai breeding stock manakala terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, misalnya kepunahan terhadap spesies tersebut dari habitat alaminya.

4.      Kesimpulan
Harimau sumatera merupakan satwa yang sangat penting keberadaannya sebagai puncak rantai makanan, akan tetapi keberadaannya saat ini berada dalam kondisi memprihatinkan. Populasinya terus mengalami penurunan akibat deforestasi hutan sebagai habitat alami, perburuan liar, perdagangan bagian tubuh harimau, menurunnua jumlah mangsa alamiah, serta konflik dengan masyarakat yang mendiami area di sekitar habitat harimau. Langkah-langkah pelestarian keberadaan harimau sumatera  dapat ditempuh dengan penyusunan kebijakan yang komprehesif dan berkesinambungan dengan melibatkan segenap komponen yang berkepentingan dengan harimau sumatera meliputi pemerintah, masyarakat, serta pemerhati linkungan. Upaya konservasi tersebut dibagi ke dalam dua katergori, yaitu konsevasi in situ berupaya untuk memperthankan keberadaan populasi harimau di habitat alaminya, misalnya di hutan lindung. Secara eksitu dilakukan upaya untuk mempertahankan keberadaan harimau di luara habitat alaminya. Kebun binatang, tempat penangkaran, serta pertukaran satwa dengan pihak luar negeri secara resmi merupakan contoh langkah konservasi secara eksitu.

Referensi
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan. Pemerintah Republik Indonesia.
IUCN/World Conservation Union. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Karanth, K. U. 1995. Estimating tiger Panthera tigris populations from camera-trap data using capture-recapture models. Biological Conservation 71:333-338.
Peres, C. A. 2000. Evaluating the impact and sustainability of subsistence hunting at multiple Amazonian forest sites. Pages: 31-56 in: J. R. Robinson, and E. L. Bennett, editors. Hunting for sustainability in tropical forests. Columbia University Press, New York.
Sanderson, E., J. Forrest, C. Loucks, J. Ginsberg, E. Dinerstein, J. Seidensticker, P. Leimgruber, M. Songer, A. Heydlauff, T. O’Brien, G. Briyja, S. Klenzendorf and E. Wikramanayake. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015: The Technical Assessment. WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF, New York- Washington, D.C. 
Santiapillai, C., and W. S. Ramono. 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1829) in Sumatra. Tiger paper 12(4):23-29.
Scharringa, J. 1999. Birds of Tropical Asia. Birds Songs International B.V., Westernieland, the Netherlands.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Introducing the tiger. Pages: 1-3 in: J. Seidensticker, S. Christie, P. and Jackson, editors. Riding the tiger: tiger conservation in human-dominated landscape. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Silva, M. and J.A. Downing. 1994. Allometric Scaling of Minimal Mammal Densities. Conservation Biology 8(5):732-743.
Soehartono, T., H. T. Wibisono, Sunarto, D. Martyr, H. D. Susilo, T. Maddox, D. Priatna. 2007.   STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae). Departemen Kehutanan
Tilson, R. L., K. Soemarna, W. S. Ramono, S. Lusli, K. Traylor-Holzer, and U. S. Sea. 1994. Sumatran tiger populations and habitat viability analysis report. Indonesian Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesotavan

SEJARAH KONSERVASI DI NEGARA VIETNAM (History of Conservation in Vietnam) | Puput Andini

Selasa, 04 Oktober 2011
SEJARAH KONSERVASI DI NEGARA VIETNAM (History of Conservation in Vietnam) | Puput Andini

SEJARAH KONSERVASI DI NEGARA VIETNAM (History of Conservation in Vietnam)

SEJARAH KONSERVASI DI NEGARA VIETNAM
(History of Conservation in Vietnam)

By : Andini Saputri
Mahasiswa Magister Biologi Universitas Sumatera Utara
 Tugas : Biologi Konservasi (II)

Pada tahun 1993, total luas hutan Vietnam adalah 9.650.000 hektar, atau 29,1% dari wilayah nasional (Kantor Umum Statistik 1994). Hutan Vietnam terdiri dari penggunaan khusus hutan (0,92 juta hektar), hutan lindung (2,80 juta hektar) dan hutan produksi (5.930.000 hektar). Menurut Flore Générale de L'Indochine, pada tahun 1850 negara ini memiliki spesies tanaman lebih dari 7000 marga. Dari jumlah tersebut, 64 genera dan 2084 spesies endemik. 11.000 spesies Pteridophyta, Gymnospermae dan Angiospermae (7000 yang telah diberi nama), 275 spesies hewan, 800 spesies burung, 180 spesies reptil, 80 spesies amfibi, 2470 spesies ikan, dan 5500 spesies serangga, dari jumlah tersebut, 40% adalah endemik.
Pada tahun 1943 kawasan hutan Vietnam diperkirakan sekitar 14,3 juta hektar, atau 43% dari total lahan. Namun pada tahun-tahun berikutnya luasan hutan mengalami penurunan yang sangat drastis. Penurunan luasan hutan ini disebabkan karena  perang, perladangan berpindah, perkebunan, penebangan liar dan kebakaran hutan, tutupan hutan menyusut pada laju sekitar 100.000 ha per tahun hingga 27,1%.
Melihat adanya peluang penyusutan luasan hutan yang semakin luas, maka dilakukan upaya untuk melindungi habitat alam atau kawasan hutan sebagai bentuk upaya konservasi. Adapun upaya-upaya tersebut adalah :
1.      Pada tahun 1962 dilakukan pembentukan Taman Nasional pertama di Vietnam yaitu “Cuc Phuong”.
2.      Pada tahun 1972,  Berdasarkan Keputusan No 194/CT Dewan Menteri Pemerintah Vietnam memutuskan untuk mendirikan sebuah sistem khusus menggunakan hutan meliputi 87 kawasan hutan lindung.
3.      Pada tahun 1991  Pemerintah Vietnam mengeluarkan undang-undang untuk perlindungan hutan.
4.      Pada tahun 1994 mengeluarkan undang-undang untuk perlindungan lingkungan.
5.      Pada tahun 1995 disetujuinya Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Nasional, oleh Pemerintahan Vietnam.
Hingga saat ini kegiatan-kegiatan konservasi terus dilakukan di negara vietnam, yaitu dengan konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Hingga saat ini orientasi strategis dan pemilihan metode konservasi telah menerima perhatian khusus. Spesies prioritas telah dibagi menjadi empat kelompok:
1.      Spesis yang terancam punah dengan nilai ekonomi tinggi
2.      Spesis yang terancam punah dengan nilai ilmiah tinggi
3.      Spesis asli
4.      Spesies eksotik
Beberapa tanggapan Pemerintah Vietnam tentang konservasi adalah “konservasi memainkan peran penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Ketika suatu spesies dalam bahaya kepunahan, maka spesis tersebut butuh untuk dilakukan konservasi”

Referensi
·         General Statistic Office (1994) Statistical Data of Agriculture, Forestry and Fishery (1985-1993). Statistical Publishing House, Hanoi.
·         Government of Vietnam & GEF (1995) National Biodiversity Action Plan. Hanoi.
·         IUCN (1978) The IUCN Plant Red Data Book . The World Conservation Union, Gland.