Rabu, 12 Oktober 2011
KONSERVASI HARIMAU SUMATERA 
 (Panthera tigris-sumatrae)
1.                
1.                  Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam, peninggalan sejarah, seni dan budaya, yang sangat besar sebagai daya tarik pariwisata dunia. Ahli biokonservasi memperediksi bahwa Indonesia yang tergolong negara Megadiversity dalam hal keanekaragaman hayati, akan mampu menggeser Brasil sebagai negara tertinggi akan keanekaragaman jenis, jika para ahli biokonservasi terus giat melakukan pengkajian ilmiah terhadap kawasan yang belum tersentuh (BAPPENAS, 1993).
Harimau  Sumatera (Phanthera Tigris Sumatrae) merupakan salah satu satwa langka kebanggaan yang hidup di pulau Sumatera. Jenis satwa yang menempati puncak piramida  dalam ekosistem hutan sumatera ini keberadaannya telah dilindungi oleh pemerintah dan dikategorikan sebagai satwa yang mendekati kepunahan. CITES (konvensi tentang perdagangan satwa dan tumbuhan terancam punah) telah melarang perburuan dan perdagangan satwa ini.  Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh IUCN (Cat Specialist Group2002). Pada tahun 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang),sementara sekitar 100 ekor lainnya berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (Gambar 2; Lokakarya Harimau dan Gajah 2007).
Upaya untuk menyelamatkan Harimau Sumatera telah sejak lama dan secara terus menerus diillakukan oleh pemerintah Indonesia dan berbagai pihak yang peduli terhadap pelestarian satwa ini baik dari dalam ataupun luar negeri. Namun karena upaya pelestarian satwa ini sering kurang terintegrasi dengan derap pembangunan ekonomi di pulau Sumatera. sejauh ini hasilnya masih kurang menggembirakan. Saat ini populasi Harimau Sumatera dialam diperkirakan hanya sekitar 300 individu yang tersebar dibeberapa kawasan hutan yang terfragmentasi karena berbagai sebab terutama penebangan dan konvensi hutan.


2.         Pelestarian Satwa Yang Dilindungi dan Terancam Punah di Indonesia
2.1.      Penentuan Kriteria Kawasan Pelestarian
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006, taman nasional dikelola secara zonasi. Adapun zona yang terdapat di dalam taman nasional adalah: zona inti; zona pemanfaatan; zona rimba; dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri Kehutanan berdasarkan kebutuhan pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditetapkan menjadi suatu zona setelah memenuhi kriteria yang telah ditentukan:
1)      Zona inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati.
2)      Zona rimba, untuk wilayah perairan laut disebut zona perlindungan bahari adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.
3)      Zona pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
4)      Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
5)      Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
6)      Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
7)      Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
          Fungsi dari kawasan pelestarian alam adalah sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah secara zonasi dilakukan penilaian potensi untuk dasar penentuan zonasi kawasan dengan mengacu pada aspek ekologis, teknis, sosial ekonomi, pengambangan wilayah dan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian diperlukan kegiatan penilaian potensi kawasan yang mencakup potensi potensi di bawah ini:
1)      Potensi keanekaragaman hayati.
2)      Potensi pemanfaatan wisata.
3)      Potensi pemanfaatan tradisional.
4)      Potensi terjadinya konflik kepentingan.
5)      Potensi pengembangan ilmu pengetahuan.
6)      Potensi masalah dan sumbernya.

2.2.     Konservasi Harimau Sumatera
Konservasi harimau (Panthera tigris) memberikan manfaat kepada komunitas alam secara tidak langsung di luar jenis mereka (Panwar, 1987). Di beberapa negara di Asia, harimau digunakan sebagai spesies penanda bagi konservasi keanekaragaman hayati (Rabinowitz, 1991). Tetapi, sudah lebih dari satu abad semenjak harimau digolongkan dalam satwa yang terancam punah (IUCN, 2004) dan populasi harimau terus menurun di semua jenis. Penurunan ini disebabkan adanya perdagangan bagian tubuh harimau untuk pengobatan tradisional, harimau banyak dibunuh karena reputasinya sebagai pembunuh manusia (Weber and Rabinoviz, 1996), melegalkan pembasmian ‘harimau bermasalah’ diikuti oleh adanya konflik harimau dan manusia (Tilson et al. 1994; Seidensticker et al, 1999), pengurangan jumlah spesies mangsa oleh pemburu liar (Seidensticker, 1986; Karanth and Stith, 1999), dan peningkatan kerusakan habitat alaminya (Wikramanayake et al, 1998; Nowell & Jackson, 1996; Weber & Rabinowitz, 1996).
Indonesia pernah memiliki tiga dari delapan subspesies harimau yang ada di dunia, namun dua diantaranya, yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica) dan harimau bali (P. t. balica) telah dinyatakan punah, masing-masing pada tahun 1940- an dan 1980-an (Seidensticker dkk. 1999). Saat ini hanya subspesies harimau sumatera (P. t. sumatrae) yang tersisa dan hidup pada habitat yang terfragmentasi dan terisolasi satu dengan lainnya.Harimau sumatera hanya terdapat di Sumatera danmerupakan sub spesies dengan ukuran tubuh rata-rata terkecil di antara sub spesies harimau yang ada saat ini (Kitchener 1999). Harimau sumatera jantan memiliki rata-rata panjang dari kepala hingga ekor 240 cm dan berat 120 kg. Sedangkan betina memiliki rata-rata panjang  dari kepala hingga ekor 220 cm dan berat 90 kg. Sejak tahun 1996 harimau sumatera dikategorikan sebagai sangat terancam kepunahan (critically endangered) oleh IUCN (Cat Specialist Group, 2002).
Pada tahun 1978, populasi harimau Sumatera diperkirakan tinggal 1000 ekor, berdasar respons kuesioner (Borner, 1978). Tahun 1985, pada 26 area yang dilindungi, ditemukan adanya harimau, dan total populasi pada lokasi-lokasi tersebut kurang lebih 800 harimau (Santiapillai and Ramono, 1987). Pada tahun 1992, populasi harimau sumatera diperkirakan hanya tersisa 400 ekor di lima taman nasional (Gunung Leuser, Kerinci Seblat, Way Kambas, Berbak dan Bukit Barisan Selatan) dan dua suaka margasatwa (Kerumutan dan Rimbang), sementara sekitar 100 ekor lainnya berada di luar ketujuh kawasan konservasi tersebut (PHPA 1994). Jumlah tersebut diduga terus menurun (Lokakarya Harimau dan Gajah 2007). Oleh karena itu, keberadaan Harimau sumatera wajib dilestarikan dalam Dokumen Strategi Dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2007 - 2017. Pada tahun 1992 juga dilakukan analisis kelangsungan hidup (viability) populasi dan habitat (Population and Habitat Viability Analysis/PHVA) harimau Sumatera. Dimana hasilnya memperkirakan kurang lebih 400 – 500 harimau tinggal di taman nasional dan area lain yang tidak dilindungi (Tilson et al, 1994). Santiapilla and Ramono (1987) memperkirakan kepadatan harimau Sumatra adalah 1 ekor per 100 km2 di daerah pegunungan dan 1-3 ekor per km2 di dataran rendah.
Perkiraan terkini baru dilakukan pada tingkat kawasan yang berlaku untuk kawasan itu saja. Jumlah minimal berdasarkan estimasi yang dilakukan olehberbagai lembaga adalah sekitar 250 individu dewasa, di 8 dari setidaknya 18 kawasan yang disinyalir memiliki harimau sumatera, sedangkan terhadap 10 kawasan lain sisanya belum dilakukan estimasi populasi. Walaupun estimasi tersebut dilakukan dengan menggunakan kerangka kerja yang umumnya sama, namun pendekatan yang digunakan berbeda-beda. Oleh karena itu perlu diinterpretasikan secara hati-hati. Nilai tersebut juga tidak dapat dibandingkan begitu saja dengan estimasi yang dilakukan pada tahun 1992 tersebut di atas, karena pendekatan yang digunakan sangat berbeda.

2.3.      Ancaman Pelestarian Harimau
Ancaman terbesar terhadap kelestarian harimau sumatera adalah aktivitas manusia, terutama konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan seperti perkebunan, pertambangan, perluasan pemukiman, transmigrasi dan pembangunan infrastruktur lainnya. Selain mengakibatkan fragmentasi habitat, berbagai aktivitas tersebut juga sering memicu konflik antara manusia dan harimau, sehingga menyebabkan korban di kedua belah pihak, bahkan sering berakhir dengan tersingkirnya harimau dari habitatnya.
Bentuk lain aktivitas manusia yang secara langsung mengakibatkan tersingkirnya satwa kharismatik ini dari habitat alaminya adalah perburuan serta perdagangan ilegal harimau sumatera dan produk turunannya. Kemiskinan  masyarakat di sekitar hutan dan tingginya permintaankomersial dari produk-produk ilegal harimau mulai dari kulit, tulang, taring, serta  daging mendorong meningkatnya perburuan satwa tersebut.
Penelitian terbaru telah menemukan melimpahnya jumlah harimau dan predator yang serupa berkorelasi positif dengan dengan kepadatan varietas binatang berkuku tunggal, utamanya rusa (Seidensticker, 1986; Sunquist et al, 1999). Di Sumatera, harimau biasanya memangsa banyak jenis rusa (Cervus unicolor) dan jenis babi (Sus scrofa) (Seidensticker, 1986). Beberapa hasil penelitian telah melaporkan penurunan populasi mamalia bertubuh besar sebagai hasil dari tekanan perburuan skala kecil (Peres, 1990; FitzGibbon et al, 1995; Peres, 2000). Biomasa satwa liar biasanya terkumpul di area di mana terdapat sejarah panjang perburuan, pemukiman manusia, dan kegiatan bercocok tanam (Jorgensen, 2000). Kinnaird et al, (2003) menginterpretasikan kecenderungan dari tiga jenis mamalia terancam punah, harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (elephas maximus), dan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), yang menghuni daerah tengah hutan (interior) yang merupakan penghindaran dari aktivitas manusia yang biasanya terdapat di tepian hutan.
Deforestasi dan degradasi hutan di Pulau Sumatera merupakan salah satu ancaman yang signifikan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati di pulau ini, terutama terhadap jenis-jenis mamalia besar yang memiliki daerah jelajah yang luas  seperti harimau. Hilangnya hutan yang cukup luas dan cepat pada dasawarsa terakhir menyebabkan luas habitat harimau sumatera berkurang dan terpecah menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu dengan yang lain.
Kepedulian tentang hilangnya jenis dan penurunan biodiversitas telah menghasilkan banyaknya upaya untuk melestarikan hutan, dalam hubungannya dengan pencegahan kepunahan jenis lokal maupun terhadap kekayaan jenis atau komposisi jenis secara umum. Dampak pengelolaan hutan terhadap biodiversitas adalah penurunan populasi, kemungkinan kepunahan jenis, bahkan berkaitan dengan penurunan keragaman genetik yang diakibatkan oleh perubahan demographik hutan, fragmentasi hutan dan penurunan kualitas habitat. Oleh karena itu hasil-hasil penelitian akan memperkuat upaya pelestarian jenis maupun perluasan kawasan konservasi.
Kerusakan habitat, fragmentasi dapat menurunkan populasi dan nilai lanskap dalam pelestarian populasi satwa liar. Banyak jenis mamalia di alam telah mendekati “minimum viable population size” dan 20-50% jenis diprediksi akan punah pada tahun 2100 (Silva and Downing, 1994). Berdasarkan kekhawatiran tersebut, maka penelitian populasi dan distribusi satwa mamalia, khususnya mamalia besar adalah sangat penting. Dalam hal ini minimum viable population akan semakin kecil untuk jenis satwa dengan berat badan besar.
Beberapa jenis satwa besar tidak diragukan akan dapat beradaptasi dengan baik dalam populasi rendah, seperti harimau dengan nilai minimum variabel populasi 0,02, di samping itu populasi karnivora besar lebih rendah dari populasi herbivora (Silva and Downing, 1994). Dalam hal ini Panthera tigris telah digunakan sebagai flagship species dalam upaya melindungi kawasan dan biodiversitas di beberapa negara Asia (Karanth, 1995).

3.       Managamen Dalam Strategi Konservasi
Sebagai upaya menyelamatkan harimau sumatera dari kepunahan, untuk pertama kalinya pada tahun 1994 pemerintah bersama para pihak terkait menerbitkan dokumen rencana aksi konservasi harimau sumatera. Rencana aksi tersebut merekomendasikan:
a)      Strategi pengembangan dan pengelolaan konservasi populasi harimau sumatera.
b)       Pengamanan dan perlindungan populasi harimau sumatera yang masih ada di habitatnya.
c)      Mengembangkan penangkaran harimau sumatera untuk mendukung pemulihan populasi di alam.
d)     Membangun jaringan kerja untuk kelestarian harimau sumatera di Indonesia. Sebagai implementasi dari rencana aksi tersebut, pemerintah telah meningkatkan pengamanan dan pengelolaan harimau sumatera di beberapa kawasan konservasi seperti Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Taman Nasional Sembilang (TNS) dan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG).

3.1.     Populasi dan Distribusi in-situ
Hasil analisa terkini mengenai status harimau secara global menetapkan 12 bentang alam konservasi harimau (Tiger Conservation Landscape) di Sumatera dan hanya dua di antaranya yang dikategorikan sebagai prioritas global, yaitu bentang alam Kerinci Seblat dan Bukit Tigapuluh, serta dua bentang alam prioritas regional, yaitu Bukit Balai Rejang Selatan dan Kuala Kampar – Kerumutan(Sanderson dkk. 2006). Jika dipadukan dengan beberapa hasil kajian terkini, saat ini populasi harimau sumatera terdapat setidaknya di 18 kawasan konservasi dan kawasan hutan lain yang berstatus sebagai hutan lindung dan hutan produksi, yang terpisah satu sama lain. Berdasarkan data perkiraan antar waktu, sebagaimana digambarkan sebelumnya, populasi harimau sumatera cenderung menurun dari tahun ketahun. Apabila tidak dilakukan intervensi pengelolaan yang tepat, satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia ini diyakini akan punah dalam waktu yang tidak terlalu lama.
            Seperti halnya sub spesies harimau lainnya, harimau sumatera adalah jenis satwa yang mudah beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya di alam bebas, sepanjang tersedia cukup mangsa dan sumber air (Schaller 1967; Sunquist 1981; Seidensticker dkk. 1999), serta terhindar dari berbagai ancaman potensial. Di Sumatera, harimau sumatera terdapat di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan, dengan ketinggian antara 0 – 3.000 meter di atas permukaan laut dan menghuni berbagai jenis habitat, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan rawa gambut, hutan tebangan, perkebunan, hingga belukar terbuka.

3.2.        Populasi dan distribusi Ex situ
Untuk konservasi secara ex-situ pemerintah hanya mengijinkan pemeliharaan dan penangkaran (captive breeding) yang dilakukan oleh lembaga konservasi ex-situ, seperti kebun-kebun binatang dan taman-taman safari baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Sampai dengan tahun 2007 jumlah harimau sumatera yang terdapat di lembaga konservasi ex-situ di dalam negeri sebanyak 127 ekor, sedangkan harimau sumatera yang dipinjamkan atau diberikan dengan skema tukar menukar satwa dengan beberapa lembaga konservasi ex-situ di luar negeri terdapat sebanyak 244 ekor. Populasi harimau sumatera ex-situ sangat berguna sebagai breeding stock manakala terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan, misalnya kepunahan terhadap spesies tersebut dari habitat alaminya.

4.      Kesimpulan
Harimau sumatera merupakan satwa yang sangat penting keberadaannya sebagai puncak rantai makanan, akan tetapi keberadaannya saat ini berada dalam kondisi memprihatinkan. Populasinya terus mengalami penurunan akibat deforestasi hutan sebagai habitat alami, perburuan liar, perdagangan bagian tubuh harimau, menurunnua jumlah mangsa alamiah, serta konflik dengan masyarakat yang mendiami area di sekitar habitat harimau. Langkah-langkah pelestarian keberadaan harimau sumatera  dapat ditempuh dengan penyusunan kebijakan yang komprehesif dan berkesinambungan dengan melibatkan segenap komponen yang berkepentingan dengan harimau sumatera meliputi pemerintah, masyarakat, serta pemerhati linkungan. Upaya konservasi tersebut dibagi ke dalam dua katergori, yaitu konsevasi in situ berupaya untuk memperthankan keberadaan populasi harimau di habitat alaminya, misalnya di hutan lindung. Secara eksitu dilakukan upaya untuk mempertahankan keberadaan harimau di luara habitat alaminya. Kebun binatang, tempat penangkaran, serta pertukaran satwa dengan pihak luar negeri secara resmi merupakan contoh langkah konservasi secara eksitu.

Referensi
BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan. Pemerintah Republik Indonesia.
IUCN/World Conservation Union. 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories. CNPPA with the assistance of WCMC. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Karanth, K. U. 1995. Estimating tiger Panthera tigris populations from camera-trap data using capture-recapture models. Biological Conservation 71:333-338.
Peres, C. A. 2000. Evaluating the impact and sustainability of subsistence hunting at multiple Amazonian forest sites. Pages: 31-56 in: J. R. Robinson, and E. L. Bennett, editors. Hunting for sustainability in tropical forests. Columbia University Press, New York.
Sanderson, E., J. Forrest, C. Loucks, J. Ginsberg, E. Dinerstein, J. Seidensticker, P. Leimgruber, M. Songer, A. Heydlauff, T. O’Brien, G. Briyja, S. Klenzendorf and E. Wikramanayake. 2006. Setting Priorities for the Conservation and Recovery of Wild Tigers: 2005-2015: The Technical Assessment. WCS, WWF, Smithsonian, and NFWF-STF, New York- Washington, D.C. 
Santiapillai, C., and W. S. Ramono. 1985. On the status of the tiger (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1829) in Sumatra. Tiger paper 12(4):23-29.
Scharringa, J. 1999. Birds of Tropical Asia. Birds Songs International B.V., Westernieland, the Netherlands.
Seidensticker, J., S. Christie, and P. Jackson. 1999. Introducing the tiger. Pages: 1-3 in: J. Seidensticker, S. Christie, P. and Jackson, editors. Riding the tiger: tiger conservation in human-dominated landscape. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Silva, M. and J.A. Downing. 1994. Allometric Scaling of Minimal Mammal Densities. Conservation Biology 8(5):732-743.
Soehartono, T., H. T. Wibisono, Sunarto, D. Martyr, H. D. Susilo, T. Maddox, D. Priatna. 2007.   STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae). Departemen Kehutanan
Tilson, R. L., K. Soemarna, W. S. Ramono, S. Lusli, K. Traylor-Holzer, and U. S. Sea. 1994. Sumatran tiger populations and habitat viability analysis report. Indonesian Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation, and IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group. Apple Valley, Minnesotavan

1 komentar:

  1. mahasinul fathani mengatakan...:

    manakah yang lebih baik antara konservasi harimau di dalam taman dengan dikurung dengan melepaskannya di alam bebas tolong di confirm secepatnya,terima kasih

Posting Komentar